Tentang Privilege
Belakangan ini, story instagram gue diramaikan dengan orang-orang yang Work From Bali (WFB). Terminologi ini lahir seiring dengan menaiknya tren orang-orang yang memutuskan untuk pergi ke Bali untuk bekerja, untuk mengatasi suntuknya kerja dari rumah selama pandemi. Biasanya, gue cuma bisa ngeswipe story orang-orang yang WFB dengan mupeng — atau sekali-kali bertukar dialog dengan teman gue tentang bagaimana kita juga pengen melakukan WFB. Kata-kata bernada, “Wah, enak ya jadi dia,” pun kerap kali terdengar.
Suatu waktu, gue lagi ngobrol sama rekan kerja gue, terus dia bilang sambil lalu, “Banyak ya sekarang orang kerja di Bali.” Gue mengangguk mengiyakan.
Lalu dia nanya, “Lo nggak kerja dari Bali juga, Cath?”
Kali ini gue menggeleng, “Kagak lah, duit dari mana weh!”
Lalu dia tertawa dan lanjut bertanya, “BTW emang lo SMA dimana dulunya?”
Gue bingung gitu kan — hubungannya apa? Tapi lalu gue menjawab, “UPH College” — yang sebagai konteks memang merupakan salah satu SMA swasta yang rata-rata murid-muridnya berasal dari kalangan menengah-atas.
Terus dia ngomong, “Nah, terus how come lo bilang nggak privileged enough to Work From Bali?” katanya sambil tertawa.
Lalu otak gue yang bolot ini baru menangkap — oh, itu toh hubungannya. Itu bukan kali pertama gue dianggap sebagai orang yang privileged — atau singkatnya dalam konteks ini, cukup tajir untuk pergi kemana-mana sesuka hati. Padahal, dia nggak tau aja kerjaan gue selama ini cuma ngeliatin orang WFB sambil berandai-andai suatu hari gue akan cukup kaya untuk membangun vila pribadi di Bali (mimpi dulu aja ya kan, mumpung gratis!)
Cerita lain — gue juga pernah mendapatkan stereotip serupa ketika gue sedang konsultasi dengan salah satu dosen. Waktu itu, gue sedang mengkonsultasikan gagasan kreatif untuk keperluan seleksi Mahasiswa Berprestasi (Mapres). Lalu kemudian beliau nyeletuk, “Kamu dulu berasal dari SMA mana, Cathlin?” tanyanya. Kemudian gue jawab lagi, “UPH College.” Beliau manggut-manggut, lalu melontarkan kata-kata ini, “Oh pantes, sekolah orang kaya itu kan ya?”
Gue cuma bisa nyengir kikuk, walaupun sebenarnya rada bete juga mengamati alur pembicaraan yang menurut gue nggak relevan. Gue cuma pengen konsultasi tentang gagasan kreatif, bukan malah ngomongin latar belakang pendidikan gue. Lalu, apa pula maksudnya, “Oh, pantes?” As if my achievements and running for Mapres are a given — semata-mata karena gue dianggap cukup kaya, cukup privileged — a premature conclusion yang diambil cuma dari gue berasal dari SMA mana.
Ada dua alasan kenapa gue nggak suka dianggap privileged. Pertama — for the most obvious reasons — I don’t like it because people tend to undermine my achievements and efforts. Cerita di atas merupakan salah satu contoh sederhana dimana terkadang orang-orang menganggap bahwa semua pencapaian gue itu didapat karena gue adalah orang yang privileged, alias orang yang beruntung karena berasal dari keluarga yang cukup berada. Gue nggak suka label kata “beruntung” itu — karena kerja keras gue bukan keberuntungan. I am a firm believer of the quote, “I make my own luck” — because I would like to believe that hard work matters more than luck. If you work hard, you will get there. Debatable, I know, tapi itu adalah prinsip hidup yang gue junjung.
People tend to be spiteful to those who are privileged. Bisa dimengerti sebenarnya. Merupakan hal yang manusiawi untuk mencari orang yang bisa disalahkan atas kegagalan atau ketidakberuntungan. Daripada menyalahkan keadaan yang cenderung abstrak, kita terkadang perlu suatu objek — atau subjek — yang spesifik untuk menumpahkan kekesalan tersebut. Itulah sebabnya orang-orang “privileged” kerap kali menjadi sasaran. Kata “privileged” pun sekarang jadi memiliki konotasi yang negatif, stated with much disgust and contempt.
“Ya pantes dia bisa kerja di Law Firm A dan langsung jadi Associate, she’s super privileged. She came from a lawyer family with a zillion connections.”
“Ya iyalah dia yang menang, orang privileged banget. Bahasa Inggris dia bisa selancar itu karena pernah tinggal di Amerika bertahun-tahun”
dan banyak perkataan bernada pahit lainnya.
And so for that reason, I too perceive the label “privileged” as something negative. It is a natural conclusion that comes from multiple remarks from people undermining my achievements simply because they thought I was privileged.
Alasan kedua kenapa gue nggak suka dianggap privileged adalah karena gue tidak merasa privileged. Gue merasa biasa-biasa saja, dari kelompok kelas menengah, yang mau apa-apa harus diusahakan terlebih dahulu. Gue masih mikir 582173124x sebelum mulai cicilan airpods (curcol dikit maaf). Gue masih merasakan kagetnya liat bill restoran seharga beberapa ratus ribu sampe kayaknya makanannya gagal dicerna. Gue masih bingung tiap kali gue ke Gramedia, karena gue nggak bisa beli buku sekaligus banyak, padahal banyak buku yang pengen gue baca. Gue masih merasakan “tanggal tua” dalam arti yang sebenarnya saat saldo ATM gue paling mentok tinggal Rp 12.000 sampe nggak bisa ditarik lagi, terus mengais sisa kembalian buat beli Indomie di warung depan kosan. For all those reasons, I never feel like I am privileged.
Tapi kemudian gue berpikir, kenapa ya gue nggak pernah merasa privileged? Apa sebenarnya parameter privilege itu untuk gue? Probably — referring to the opening of this writing — the financial freedom to be able to Work From Bali. Beli airpods nggak pake mikir. Makan fine dining nggak pake mikir. Beli buku nggak pake mikir pilih yang mana yang dibeli duluan.
But being in college truly revolutionized my parameters of privilege. Gue baru mulai melihat privilege-privilege kecil yang tidak gue sadari sebelumnya. Gue melihat banyak sekali teman-teman yang super keren, yang mulai mencari cara untuk membayar UKT kuliah sendiri. Ada pula yang harus mengambil beberapa pekerjaan sampingan untuk menunjang kebutuhan sehari-hari. Sementara gue setidaknya nggak perlu musingin UKT, dan bisa fokus mengembangkan potensi diri. On top of everything I have super supportive parents yang selalu mengusahakan yang terbaik buat gue, apalagi buat bidang akademik atau pengembangan diri yang lain. They would tell me to focus on my personal development, focus on my academics, and they would find a way to pay for everything — walaupun banyak penghematan yang harus dilakukan sebagai akibatnya.
Gue pernah membaca salah satu postingan Iman Usman di Instagram yang juga membahas tentang privilege. In his posts, he recognized that he is indeed privileged — tapi privilege nya bukan dalam hal-hal materi seperti parameter yang semula gue pikir (baca: kehidupan bergelimang harta), tapi hal-hal sederhana seperti yang gue sebutkan di atas. Postingan ini membantu gue untuk melihat privilege yang tadinya tidak kelihatan. Setidaknya, gue hidup berkecukupan — bisa sekolah, bisa makan 3x sehari, dan ada support moral dari orang-orang terdekat. These are the blessings that are always there — and most of the time we took it for granted.
The pandemic revolutionized the parameters of privilege even further, which is actually my primary reason of writing this post. Belakangan ini, grup angkatan, grup fakultas, dan grup WhatsApp gue ramai sekali dengan berita dukacita akibat pandemi. Kalo nggak berita dukacita, ada pula broadcast darurat untuk mencari tabung oksigen atau plasma konvalesen. It is truly depressing. And so, with the increasing severity of the situation, the parameters of privilege are reduced to something even simpler:
Nggak usah mikirin Work From Bali, being able to work from home with a functioning laptop and decent wifi is already a privilege.
Nggak usah mikirin makan enak, being able to have your tastebuds functioning properly is already a privilege.
Nggak usah mikirin jalan-jalan and having a breath of fresh air, being able to breathe normally without having to look frantically for oxygen is already a privilege.
Nggak usah mikirin kesempatan karir yang hilang untuk jadi orang kaya, being able to have your family’s presence by your side is already a huge privilege — for they are the most valuable treasure of all.
It took a pandemic for me to realize all that.
Kesimpulannya, privileged atau nggak itu tergantung kita mau lihat dari sudut pandang yang mana. Terserah kita mau pilih yang mana — mau merasa privileged atau nggak. But I’d go with the point of view that enables me to feel blessed and grateful.
I’ll gladly say I am privileged.