Tentang Identitas

Cathlin Rosemarie
5 min readJun 17, 2023

--

“By Gryffindor, the bravest were prized far beyond the rest. For Ravenclaw, the cleverest would always be the best. For Hufflepuff, hard-workers were most worthy of admission, and power-hungry Slytherin loved those of great ambition.” (Harry Potter and the Sorcerer’s Stone, J.K. Rowling)

People who know me will not find this a surprise: gue suka baca buku sejak kecil. Salah satu ingatan paling awal yang gue miliki adalah dibacain buku Goldilocks and the Three Bears sebelum tidur. Mungkin kalau di film Inside Out, ini semacam core memory yang menjadi salah satu momen yang mendefinisikan identitas gue — si kutu buku.

Hobi membaca ini ternyata tetap bertahan sampai sekarang. Bahkan di usia “dewasa” ini, dimana gue ceritanya lagi sibuk membangun kehidupan oh-so-glamorous ala eksekutif muda — buku-buku selalu menjadi tempat yang aman untuk melarikan diri dari berisiknya realita. They’re my safe haven, thousands of worlds where I could run to when reality seems so overbearing. And through that, I understood the concept of Multiverse far before it was the theme of all Marvel movies. I could simply flip a book open and jump to that universe.

Dalam perjalanan gue “berkelana” dari satu dunia ke dunia lainnya, gue ketemu banyak sekali tokoh-tokoh keren (dan nggak keren). Mulai dari Goldilocks, si cewek yang kelewat penasaran. Masuk ke era putri dongeng yang entah kenapa selalu polosnya minta ampun — Cinderella yang sukarela ditindas, Aurora yang sukarela membiarkan jarinya ketusuk jarum terkutuk, dan Snow White yang iya-iya aja dikasih apel beracun. Lebih besar sedikit, gue ketemu Georgina di Lima Sekawan yang lebih senang dikira cowok dibanding cewek, dan nggak mau nengok sampai dipanggil “George” dan bukan “Georgina”. Dan tanpa gue sadari, tokoh-tokoh yang gue temui di buku yang gue baca itu turut membentuk pribadi gue juga. Aside from my parents and perhaps the Holy Bible — those books also taught me right from wrong, and what kind of person I want to be.

Beberapa tahun kemudian, gue ketemu Harry Potter. Like plenty of kids my age, I was quickly captivated by the story. Si bocah biasa-biasa aja yang ternyata nggak biasa — literally in his words, “Just Harry”. Turns out, “Just Harry” has been extraordinary all along, destined to defeat the most powerful dark wizard of all time. The story has so many twists and turns that it became instantly legendary.

Tapi yang membuat gue sangat tertarik pada Harry Potter bukan cuma jalan ceritanya — tapi dunianya. The worldbuilding is truly on another level. J.K. Rowling menyulap steoreotip tipikal penyihir yang pergi kemana-mana dengan sapu terbang, menjadi Quidditch, olahraga populer untuk penyihir, seperti halnya sepak bola bagi manusia biasa. Tangga-tangga yang bergerak sendiri, lukisan yang berbicara. Dan yang paling penting, keempat asramanya — Gryffindor, Ravenclaw, Hufflepuff, dan Slytherin. Bagi gue saat itu, dunia ini secara praktis langsung terbagi empat. Orang-orang yang cocok masuk Gryffindor, Ravenclaw, Hufflepuff, atau Slytherin (and according to Pottermore — apparently I’m a Ravenclaw, through and through).

For the first time in my life, I truly felt like I belong. I have a “House” I can be part of. I have a crowd, people like me. It was truly magical. Sampai sekarang, gue masih berharap Hagrid akan mengetuk pintu rumah gue, dan bilang, “you’re a wizard, Cathlin.” Belum terlambat, serius.

Belakangan ini gue baru sadar — identifying myself as a Ravenclaw was my earliest attempt to put a label to my identity. To make sense of who I was and where I belonged. Plenty of books followed after that. Divergent, contohnya, membagi dunianya menjadi 5 faksi — Dauntless, tempat bagi mereka yang pemberani, Candor, tempat bagi mereka yang jujur, so on and so forth. Semua buku-buku ini sejatinya menggambarkan obsesi manusia untuk menjadi bagian dari sesuatu. To put a label on their identity. To define what they are.

Beranjak dewasa, mungkin kita akan merasa sedikit konyol untuk mengidentifikasikan diri kita sebagai seorang “Ravenclaw” atau “Gryffindor”. Some people turn to astrology. Orang-orang ini dengan bangga mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari salah satu zodiak — Aquarius, Taurus, Capricorn, you-name-it — karena seharusnya setiap zodiak memiliki karakteristik uniknya masing-masing. Sampai sekarang, gue sering menemukan orang-orang yang bilang, “I’m a Leo” dengan tampang pongah, kayak keren banget gitu jadi Leo? wkwkwk. Atau, “Gue Sagittarius, makanya sering RIP decision making.” It’s good for laughs and icebreakers, until you find the hardcore ones — yang tenggelam dalam diskusi nggak jelas seperti “your moon shall pass through Venus at just the right moment, therefore you’ll find true love!” or any other bullshit — making it seem scientific by talking about literal stars and planets (maaf skeptis).

Kaum intelektual mungkin agak nggak nyaman menggunakan segmentasi se-abstrak Gryffindor atau Ravenclaw, atau ke-12 zodiak tanpa basis yang jelas. Jadi, mereka pun menciptakan segmentasinya sendiri. Myers-Briggs Type Indicator (MBTI) contohnya, yang mengidentifikasikan kepribadian manusia menjadi 16 jenis. Atau nggak usah jauh-jauh, di kantor gue yang sekarang pun, kami dianjurkan untuk mengikuti “Insight Discovery Test” yang membagi kepribadian manusia menjadi 4, yang kira-kira terlihat seperti ini:

It’s amazing how this instantly becomes the agreed framework to define who we are as a person. Tes ini cukup lumrah di kantor gue, bahkan menjadi salah satu pre-work saat employee induction, sehingga semua orang pasti tahu segmentasi ini. Jadi, keadaan di kantor memang cukup unik, dimana orang-orang terbiasa mendefinisikan dirinya sebagai “Gue orang Merah”, atau “Gue orang Biru”.

Don’t get me wrong, I see the validity of those test results. Buat gue, MBTI atau Insight Discovery ini jauh lebih bisa diterima dari 12 zodiak atau 12 shio misalnya, karena memang ada riset yang jelas mengenai hal ini. Tapi pada kenyataannya, menurut gue dunia — dan manusia — terlalu kompleks hanya untuk dibagi menjadi 4 seperti asrama Hogwarts, atau 12 zodiak, atau 16 tipe MBTI. No matter how strong the scientific basis, I think we cannot shake off the fact that people are complicated, and it is impossible to put them into rigid segments like what was mentioned above.

I do agree that precisely because people are complicated, perhaps we need segmentations like MBTI to generate better self-awareness. Tapi yang menjadi bahaya adalah, sekalinya kita menempatkan diri kita di satu segmen, kita terkadang merasa kita nggak bisa menjadi hal lain. Semacam mental block. Contohnya, karena gue orang Merah yang biasanya ambisius, gue mikir pasti gue pasti nggak bisa punya empati buat tim gue. Atau karena gue orang Biru yang detail-oriented, gue nggak bisa serta merta bersikap spontan dan kreatif. Atau karena gue ESTJ yang seharusnya ekstrovert dan rasional, gue nggak bisa mendadak menggalau jam 12 malam, sendirian, sambil dengerin Sam Smith. Padahal, semuanya nggak sehitam-putih itu.

Manusia itu kompleks, and it is only right for us to embrace our complexity. Semoga tulisan tengah malam ini bisa menjadi pengingat kalau kita punya ruang untuk berubah dan kita bisa menjadi apa saja. We shouldn’t confine ourselves in just one label, because only then, will we be able to grow.

For life in its essence is an endless pursuit to discover, and rediscover — who we truly are.

--

--

No responses yet