Sok Intelek

Cathlin Rosemarie
5 min readMar 15, 2021

--

“There is actually no such thing as atheism. There is no such thing as not worshipping. Everybody worships. The only choice we get is what to worship. Worship your intellect, being seen as smart, you will end up feeling stupid, a fraud, always on the verge of being found out.”

Gue merasa seperti ditampar bolak-balik saat mendengar itu. Kata-kata David Foster Wallace di commencement speech yang dia sampaikan di Kenyon College 2005 adalah salah satu favorit gue (I watch commencement speeches when I need motivation), karena selalu relatable buat segala situasi. Tapi bagian yang ini selalu paling “menusuk” karena gue merasa tersindir. Banget.

Jujur aja, I worshipped intellect. Mungkin ini ada hubungannya dengan background masa kecil gue. Dari kecil, orangtua gue membiasakan gue untuk membaca buku. Buku pertama gue adalah Goldilocks and the Three Bears — yang gue suka banget ceritanya dan gue baca berulang-ulang sampai hafal word-by-word. Dari “once upon a time” sampai “the end” gue tahu persis kata-katanya. Di situlah bokap nyokap gue mulai menyadari anaknya beneran suka baca, bukan cuma karena paksaan khas orangtua Asia. Gue mulai dibeliin majalah Bobo, terus beberapa buku sains anak-anak — seperti sistem tata surya, atau kisah tentang tokoh dunia yang di dalamnya ada gambar-gambar menarik.

Buku-buku tersebut tidak pernah membuat gue merasa terpaksa belajar — atau malah kadang tidak sadar sama sekali kalau sebenarnya gue sedang belajar. Gue jadi tahu banyak. Gue bisa menghafal dua belas dewa Yunani siapa aja dan kekuatan mereka apa aja (malu, padahal dua belas rasul aja gue suka lupa siapa aja). Gue tahu Galileo Galilei bikin teleskop, dan di akhir hidupnya dia nyaris buta karena terlalu asyik meneropong matahari. Gue tahu Socrates mati karena minum racun — walau tentunya waktu masih kecil gue nggak terlalu paham “filsuf” itu kerjanya ngapain. Itu semua gue ketahui sejak kecil.

Menurut gue, semua tokoh-tokoh itu keren. Tapi gue yang tahu semua cerita-cerita mereka lebih keren lagi. Gue senang ketika gue bisa menjawab pertanyaan atau tahu lebih dari yang lain. Hal tersebut membuat gue belajar lebih giat lagi, yang mencapai puncaknya saat SMA. I wasn’t a model student, but I was a decent one. Nilai-nilai gue cukup bagus, dan dengan bodohnya gue berpikir itu membuat gue keren (Padahal in literally all romcoms, nerds are never cool!). Gue tidak pernah mendengar secara eksplisit, tapi gue tahu orang-orang mulai mengasosiasikan gue dengan titel “one of the smart ones”. Gue akan jauh lebih flattered ketika orang bilang gue pintar ketimbang bilang gue cantik. Primarily because I rarely feel attractive, but most of the time I feel smart — and it feels great when people acknowledge my intellect.

Tapi ketika gue masuk UI, gue bertemu dengan orang-orang yang jauh lebih pintar dari gue. Gue merasa insecure karena gue benar-benar merasa seperti remahan rempeyek. Tapi anehnya, the image of me being “one of the smart ones” sticks. Gue tahu ini dari teman gue ketika gue curhat gue merasa insecure. Lalu dia bilang, “Image lo tuh pinter, Cath.” Seumur-umur, gue nggak pernah merasa bothered atau terbebani dengan image itu, sampai gue berkuliah di UI. I think it is because I knew deep down gue nggak sepintar itu. I feel like a fraud, always on the verge of being found out. Persis kayak kata David Foster Wallace.

Gue berusaha untuk menjaga image — setidaknya, kalau gue nggak bisa menjadi pintar, gue tidak akan terlihat bodoh. Tapi belakangan, gue sadar kalau gue yang berusaha menjaga image ini sebetulnya juga bisa dikategorikan “sok intelek”. Mungkin tidak dengan cara konvensional yang kita tahu, seperti anak-anak menyebalkan yang ber-ooh ria dengan kencang ketika mendengar penjelasan guru ketika satu kelas belum paham, atau anak-anak yang selalu mengacungkan tangan paling tinggi ala Hermione Granger. Tapi, gue tetap sok intelek dengan cara menyembunyikan ketidaktahuan atau ketidakpedulian gue mengenai suatu hal — membiarkan orang berasumsi bahwa gue tahu padahal sebenarnya nggak.

Ada beberapa contoh yang bisa gue berikan untuk menjelaskan perilaku “sok intelek” tadi. Hal ini dapat dilihat dari cara kita berinteraksi dalam beberapa obrolan. Ini cukup menarik karena baru di UI gue benar-benar merasa dikelilingi orang-orang kritis. Berbeda jauh dengan lingkungan SMA — yang walau pastinya juga ada orang kritis, tidak seintens di UI dimana rasanya semua orang mempunyai opini masing-masing terhadap isu-isu sosial dan politik. Fenomena yang menarik juga, gue menemukan banyak orang yang suka menggunakan kata-kata keren — bahasa latin, legal jargons, medical terms. Mungkin karena di jenjang kuliah kita punya spesifikasi ilmu masing-masing, jadi mau nggak mau kebawa di percakapan sehari-hari.

Contoh pertama, suatu hari gue pernah melihat ada orang yang membuat elaborasi panjang lebar mengenai suatu hal di story instagram. Kemudian gue ingat sekali, kalimat terakhirnya adalah, “quid pro quo.” Apa pula itu? Gue bingung, lalu gue cari artinya di Google. Beberapa minggu kemudian, ketika gue jadi juri di salah satu konferensi Model United Nations, ada satu partisipan yang bertanya di grup besar, “Sori, quid pro quo itu apa ya?” Juri-juri lain menertawai hal ini di grup privat kami — as if knowing what quid pro quo means is as obvious as knowing the earth revolves around the sun. Walau gue nggak ikutan nyinyir, gue ikut tertawa. Mendadak amnesia kalau beberapa minggu yang lalu sebenarnya gue juga baru tahu apa arti quid pro quo.

Contoh kedua mengenai istilah keren ini, waktu ada teman gue yang mengomentari suatu thread yang diciptakan seseorang di twitter yang sepertinya cukup kontroversial alias nyari ribut. Gue nggak punya twitter — jadi gue nggak terlalu paham juga. Tapi kemudian dia menyediakan screenshot thread tersebut dan menjelaskan bagian-bagian mana yang menurut dia salah. Gue lupa isi threadnya apa — nggak penting juga — tapi yang gue ingat adalah kalimat teman gue yang berbunyi, “Nggak jelas banget, sumpah! Ad hominem weh!” Untung online, jadi dia nggak lihat gue yang bengong karena nggak ngerti ad hominem maksudnya apa. Gue manggut-manggut, sok paham, padahal nggak ngerti. Kedua contoh ini menunjukkan bahwa sering sekali kita (gue sih, lebih tepatnya) takut untuk bertanya karena takut dianggap bodoh — apalagi jika orang-orang di sekeliling kita menganggapnya sebagai common-sense.

It is incredibly burdening to live that way. Capek rasanya terus-terusan bersandiwara — takut terlihat bodoh — padahal mungkin sebetulnya orang-orang juga nggak peduli-peduli amat. Gue yakin teman gue nggak akan keberatan menjelaskan apa arti quid pro quo atau ad hominem kok. Kesimpulannya, I realized that worshipping intellect makes you afraid of asking questions in fear of looking dumb — while in reality choosing not to ask question when you don’t understand is dumb by default.

After all, mendingan terlihat bodoh daripada bodoh beneran.

--

--

No responses yet