Slow Down.

Cathlin Rosemarie
4 min readAug 28, 2022

--

“Have you ever watched the jet cars race on the boulevard? I sometimes think drivers don’t know what grass is, or flowers, because they never see them slowly. If you show the driver a green blur, Oh yes! He’d say, that’s grass! A pink blur! That’s a rose garden! White blurs are houses. Brown blurs are cows.” (Fahrenheit 451, Ray Bradbury)

Beberapa waktu yang lalu, UI baru ngumumin untuk mengadakan wisuda offline untuk angkatan 2018 di bulan September. Not gonna lie, gue merasa sedikit… menyesal udah ngegas lulus duluan di bulan Februari. Mungkin kalau bersabar sedikit, gue bisa ikutan merasakan wisuda offline seperti teman-teman yang lain yang memilih untuk lulus tepat waktu. “If only I took my time,” I thought.

But truth be told, this wasn’t the first time I thought that I should have taken my time. This also crossed my mind for less shallow reasons dibandingkan sekadar pengen wisuda offline. Setelah kurang lebih 5 bulan dari wisuda kemarin, gue baru sempet merefleksikan tentang kehidupan perkuliahan, tentang apa yang gue lakukan selama 4 tahun yang gue paksa untuk perpendek jadi 3,5 tahun ini.

And it dawned on me, it feels like a blur.

Beberapa bulan yang lalu, not long after graduation, gue ngobrol sama salah satu teman, dan kita sama-sama mengenang masa kuliah. Masa-masa lomba ke luar kota, petty gossips and feuds, sampai ke masa-masa menyedihkan dimana kita harus milih antara mau beli Chatime atau Shihlin, karena saldo ATM kita waktu itu kurang dari 70 ribu. And then I told him, “Gila ya bang, dipikir-pikir, my university life was certainly a flashy one, but I just realized that I wasn’t as happy as I was supposed to be.”

Butuh keberanian besar untuk mengakui itu, primarily because I was ashamed with the fact that I did so much, tapi pada akhirnya gue tetap merasa kosong.

Sejak tahun pertama, gue udah ambis ikut lomba. I was privileged enough to join Model UN since my first year, ikut delegasi ke Thailand, and that opened doors to other opportunities. Another delegation, tahun kedua (seharusnya) gue pergi ke Harvard World MUN di Tokyo. Walaupun akhirnya nggak jadi berangkat gara-gara COVID, it doesn’t undo the fact that I gained connections with likeminded and (very) driven individuals, yang akhirnya membantu gue untuk merancang rencana-rencana ambis lainnya.

Koneksi-koneksi inilah yang mendorong gue untuk cari kesempatan lain. Di tahun ketiga, gue ngambil beberapa kepanitiaan untuk melatih kepemimpinan. Contohnya, gue jadi Project Officer buat Indonesia MUN, salah satu conference yang cukup gede waktu itu. Awalnya gue beneran emang pengen ambil buat ngelatih leadership dan people skills. Tapi setelah ambil proyek itu, orang-orang di sekeliling gue udah mulai ngomongin challenge berikutnya — yang menjadi salah satu momen paling berkesan alias paling bikin depresi selama kehidupan kuliah gue — enter:

Mahasiswa Berprestasi.

When it became clear that I would soon pursue this title, my life becomes a blur. Gue mulai membuat mental index buat semua pencapaian gue, lalu mikirin apa yang kurang, mikirin apa kesempatan yang bisa diambil, sampai mikirin calon kompetitor gue kira-kira siapa aja. Lalu gue membuat rencana untuk mengisi kekosongan itu dan mengejar ketertinggalan gue dari si kompetitor yang gue bahkan belum tahu siapa orangnya. Harus ikut XX lomba internasional dan menang XX. Harus ikut YY kepanitiaan atau leadership program dan minimal harus dapet jabatan ZZ.

But then I realized (ironically after getting the title) — I forgot the true essence of those activities I took, because I was lost in the pointless ambition of fattening up my CV.

Gue lupa kalau alasan utama dari ikut lomba itu seharusnya buat belajar, dan bukan cuma buat menang. Gue lupa kalau alasan utama dari ikut kepanitiaan itu buat belajar project management atau people skills, bukan cuma biar dapet jabatan. Gue lupa kalau bikin inisiatif itu ya beneran buat bantuin orang, bukan cuma buat personal branding kalau kita ini manusia yang punya kepedulian sosial. At the end, everything became a blur without me being able to appreciate its truest form — the lessons I learned, the friendships I built, and the impact I created.

And so, only now do I realize the importance of slowing down.

This becomes even clearer 4 months into my first full-time employment. Sebelum gue masuk di tempat gue yang sekarang, gue juga udah magang beberapa kali di perusahaan-perusahaan lain. Jarak antara satu kegiatan magang dan kegiatan magang yang lain itu nggak pernah lebih dari seminggu. Perusahaan A baru kelar, minggu depan gue udah masuk magang di Perusahaan B. My last internship before my full-time employment cuma beda 4 hari, itu juga karena kebetulan libur Lebaran. Hasilnya? Burnout. Parah.

And when you feel burnout, you get this very unsettling thought: “Gue nih sebenernya ngapain sih? Ngapain buru-buru? Apa sih yang gue kejar?”

I got loads of questions dari teman-teman seangkatan, atau bahkan dari adik tingkat yang masih sisa 1 atau 2 tahun kuliah — “Menurut lo, abis ini gue mending ambil X atau Y?” atau, “Apa sih yang harus disiapin buat jadi Management Trainee di tempat lo?” Dan pertanyaan terakhir itu yang nanya bahkan adalah adik tingkat yang beberapa tahun lebih muda.

Sekarang, jawaban gue buat semua pertanyaan itu cuma satu: SLOW DOWN.

I am well aware that this sounds a lot less practical than step-by-step instructions or tips I used to give to apply for a program, to nail the interview, or to win the title. But I learned the hard way that excessive planning and moving at a high speed can diminish your life into a blur.

Sometimes, it is wiser to hit the brakes and withdraw from the race.

Sometimes, it is wiser to take a moment and appreciate the grass and the pink roses.

Sometimes, it is wiser to slow down.

--

--

No responses yet