Close Friends & Second Accounts
Di satu waktu gue pernah nongkrong di apartemen temen gue sambil nunggu kelas siang. Sambil ngemper di kasur, gue iseng-iseng buka sosmed, ngescroll Instagram story orang-orang buat menghilangkan kegabutan.
Tiba-tiba si temen gue ini nyeletuk, “Lo udah liat story close friends gue belom?”
Mengingat story close friends itu biasanya mengandung sesuatu yang entah menyangkut masalah pribadi yang sensitif atau sesuatu yang bombastis, gue buru-buru buka profile Instagramnya. Terus gue bingung, kok nggak ada lingkaran ijo-ijo yang menandakan ada story close friends yang di post. Gue mendongak, bertanya, “Hah? Yang mana? Kok nggak ada?”
Dia mendengus gemas, terus dia bilang, “Story close friends second account gue dong! Bukan first account!”
Gue memutar bola mata, “Kalo udah ada second account, ngapain bikin close friends lagi? I thought that’s the point of second accounts, no?”
Sambil ketawa dia bilang, “Heh! Close friends second account tuh next level of friendship! Udah syukurin aja!” Gue cuma mesam-mesem denger dia ngomong gitu.
—
Walaupun gue juga bingung, tapi mari kita luruskan apa arti first account, second account, dan close friends. First account adalah akun instagram utama, yang biasanya dipakai untuk memperlihatkan aspek-aspek terbaik dalam kehidupan. Singkatnya, first account adalah akun pencitraan, sering digunakan untuk personal branding dan foto cantik dan ganteng. Sementara itu, second account adalah akun instagram kedua yang biasanya di-private, yang dipakai untuk memposting meme, kekesalan, atau foto yang sebenarnya cukup decent tapi nggak lolos screening untuk ditaruh di first account a.k.a akun pencitraan tadi. Terakhir, close friends adalah fitur untuk menyeleksi orang-orang yang bisa melihat instagram story kita, baik di first account maupun second account.
Buat orang-orang cuek seperti gue, second accounts adalah sesuatu yang tidak perlu. Prinsip gue, sosial media memang diciptakan untuk branding. If I don’t feel comfortable for everyone to see my posts — why on earth would I post it in the first place? Mengorganisir satu instagram account saja lelah, buat apa membuat akun lain? Lupa bales direct message beberapa hari saja kadang ada yang ngambek. It’s too much work.
Begitu pula dengan close friends. Balik lagi ke prinsip tadi, I don’t feel like I have the necessity to create a close friends list. Bukan karena gue nggak punya teman dekat yang bisa gue masukkan ke close friends list, tapi lebih karena gue tidak suka memposting apapun yang bersifat privat ke media sosial. Kalau butuh meluapkan kekesalan alias ranting, tinggal chat atau telepon teman dekat, curhat, selesai. Nggak perlu cari sensasi di sosial media, biar di close friends maupun di second account yang khalayaknya lebih selektif.
Tapi pada akhirnya gue tunduk juga ke tren close friends tadi. I missed the bandwagon, actually. Ketika pertama kali fitur close friends itu diciptakan, gue sempat nggak mau ikutan. Story Instagram gue cenderung generic, paling cuma repost poster acara tertentu atau foto tiket bioskop untuk menunjukkan kalau hidup gue tidak melulu berisi kegiatan akademis dan belajar (sad, I know). Tapi di awal pandemi, gue berkali-kali merasa marah, bosan, dan stres terkungkung dirumah. Teman-teman juga mungkin merasakan hal yang sama. Everyone has their own burden, gue nggak tega untuk nelepon teman gue buat meluapkan kekesalan, tapi di saat yang sama gue sangat butuh ranting untuk mengeluarkan perasaan tidak enak ini. So I created the close friends list to let loose.
Suatu waktu, ada suatu insiden kecil yang terjadi terkait close friends dan second accounts ini. Gue membuat satu postingan yang gue taruh di close friends instagram gue — gue juga lupa waktu itu post apa — yang jelas gue nge-tag second account salah satu teman dekat gue yang lain. Terus tiba-tiba dia nge-reply story tersebut pakai first account dia — terus dia bilang “kok nggak muncul sih notif lo ngetag gue di second account?”
Rupanya gue lupa masukin second account dia ke close friends list gue.
Itu memang kejadian biasa, si teman gue juga nggak baper karena gue lupa masukin second account dia ke close friends list gue (Padahal haram banget lupa masukin teman ke close friends list. Sumpah, bisa merusak pertemanan). Tapi kejadian itu membuat gue berpikir bagaimana kita menggunakan fitur close friends kita untuk mendefinisikan siapa yang dekat dan siapa yang tidak.
Jaman dulu sebelum ada fitur close friends atau sebelum gue menggunakannya, gue nggak pernah benar-benar mengkategorikan orang-orang yang masuk first, second, atau third circle gue. Yes, I have the general idea of those whom I consider my close friends, tapi gue tidak pernah benar-benar menghitung dan name-call siapa saja yang masuk kategori teman dekat — sampai close friends Instagram.
Referring to the introduction of this story, it is astounding to me that we now use this feature to define the levels of friendship. Lingkaran hijau yang menandakan story close friends adalah sebuah kehormatan, sebuah afirmasi terhadap seberapa dekat kita dengan orang tersebut. Menjadi suatu kebanggaan sendiri jika kita masuk close friends seseorang, atau next-levelnya, tidak jarang hal ini menjadi sumber arogansi ketika kita tahu kalau kita masuk close friends si A, sementara teman kita yang lain tidak. “Oh, lo nggak ada di close friends nya, ya?” sambil tersenyum pongah.
Hal ini memicu banyak drama yang sebetulnya tidak perlu. Belum tentu juga orang-orang yang masuk di close friends kita adalah orang-orang yang benar-benar pantas menyandang titel “close friends”. Mungkin kita terlalu cepat menyematkan titel tersebut, ketika ternyata orang tersebut tidak seperti yang kita ekspektasikan sebelumnya. Mau ngomel di close friends juga susah, karena terlanjur ada dia disitu.
Tentunya, teman dekat juga bukan berarti nggak pernah berantem. Tapi gue yakin buat kalian yang membuat close friends list atau second account, kalian juga pernah berada dalam keadaan dimana kalian terpaksa mendefinisikan ulang siapa teman-teman dekat kalian karena kejadian tertentu. Tidak jarang gue menemukan story yang bernada, “Renewing my close friends list. For those of you who are still here, thanks and congrats for staying.” Wowzie.
Ada dua cara bagaimana orang biasanya menyelesaikan masalah pertemanan ini. Cara pertama adalah remove orang yang yang dianggap menyebalkan tersebut dari close friends list. Setelah itu, kita dapat memaki-maki dia sepuas hati. Ada kepuasan tersendiri setelah meng-kick orang tersebut dari close friends. Rasanya seperti menendang dia dari kehidupan kita. Lucu terkadang bagaimana sosial media bisa menyederhanakan hal ini. Nggak suka, tinggal kick dari close friends. Benci, ya tinggal unfollow. Seakan-akan, unfollow adalah sanksi terberat yang dapat kita jatuhkan terhadap seseorang. Lo, gue, end! *dramatis*
Aksi remove dan unfollow ini tidak jarang memicu konflik yang lebih lanjut. Mungkin, hal ini sekadar menjadi perbincangan, “Eh, lo tau nggak si A unfollow si B? Mereka putus ya?” terutama jika konflik tersebut bersifat publik. Tapi konflik yang benar-benar merusak pertemanan adalah ketika orang yang di kick dari close friends tidak menyadari bahwa dia di kick oleh si A, dan kemudian ia tidak sengaja tahu dari B bahwa ternyata ia tidak lagi ada di close friends A.
Gue pernah nggak sengaja berada dalam keadaan yang nggak nyaman itu. Gue bersahabat dekat dengan X dan Z, kami semua satu circle. Kemudian, tanpa gue sadari, X merasa kesal dengan Z, lalu si X me-remove Z dari close friends listnya. Kemudian, saat gue sedang berjalan berdua dengan Z, gue dengan santai tertawa, “eh lo belom liat ya story nya si X? Ngakak banget woi dia blablabla!” Kemudian Z pun ikut tertawa dan membuka profile X, only to find that there’s nothing. Si Z pun tahu dengan cara yang sangat tidak mengenakkan kalau dia dikeluarkan dari close friends X. Gue? Rasanya pengen ngilang aja karena gue merasa gue membeberkan sesuatu yang tidak seharusnya — even though it is not entirely my fault.
Cara kedua yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah pertemanan adalah membuat second account (or third account?) yang baru. Biasanya, hal ini dilakukan ketika si pemilik second account merasa sudah terlalu banyak orang-orang yang berada dalam akun tersebut. Gue suka ngetawain aja kalo teman gue cerita, “eh tadi si A minta username second account gue. Gue bingung, nggak deket-deket amat, cuma gue kan ga enak kalo ditodong gitu!” Hal ini pun berlanjut sampai akhirnya ada terlalu banyak orang yang tidak diinginkan, yang berujung pada keputusan untuk membuat akun baru. Kalo udah gini, biasanya gue yang pusing kebanyakan akun tapi orangnya sama.
Fenomena ini sering sekali terjadi dalam kehidupan sehari-hari, sampai gue membuat ini dalam bentuk tulisan. Sebenarnya nggak penting juga sih. Tapi ini sebenarnya bahan refleksi pribadi gue aja kalau second accounts dan close friends tidak seharusnya menjadi tolak ukur pertemanan. Friendship is more complex — and more valuable — than that. Sosial media in its core diciptakan untuk mempermudah proses komunikasi dan interaksi. Let’s not overcomplicate it by defining who our true friends are from the existence of the green circle on our friends’ profile.