Budaya Basa Basi
“Hi Cath, apa kabar?”
Gue langsung melengos kalau chat seperti itu muncul. Bukannya gue nggak suka ditanyakan kabarnya, tapi karena gue tahu hampir pasti orang tersebut menginginkan sesuatu dari gue. The fact that they need to ask how we’re doing means we don’t interact on a daily basis. Jadi ketika mereka tiba-tiba menanyakan kabar, nggak ada angin nggak ada hujan, hampir pasti ada sesuatu yang mereka inginkan. Bukannya suudzon, tapi sayangnya ini memang kenyataan.
Awal-awal ketika masih naïf, gue masih niat menjawab pertanyaan tersebut. “I’m good! Agak overwhelmed minggu ini karena lagi UTS, tapi so far oke lah! Lo gimana kabarnya?” Tapi karena 90 persen dari percakapan tersebut dilanjutkan dengan “Eh iya, BTW, lo bisa nggak bantu X?” atau “Eh, lo bisa nggak bikinin Y?” — gue jadi malas menjawab karena gue jadi tahu mereka tidak benar-benar peduli. Pasti ada udang dibalik bakwan. Jadi sekarang kalau chat seperti itu muncul, gue biasanya menjawab dengan, “Hi, kenapa?” — karena gue tahu, pasti ada apa apa.
Gue pernah menonton video Carpool Karaoke nya James Corden dengan Ed Sheeran. Kemudian, Ed Sheeran bilang bahwa dia nggak punya handphone, yang membuat James Corden terkejut. Gue juga kaget, masa sih orang seperti Ed Sheeran nggak punya handphone? Tapi kemudian dia bilang, “I wake up every morning and there’ll be around 50 messages, ‘can I have this?’ ‘can you get me this?’” Setelah mendengar itu, gue berpikir, pantas Ed Sheeran malas punya handphone. Walaupun gue pastinya masih belum sekaliber Ed Sheeran, kadang-kadang gue juga suka merasa isi handphone gue kebanyakan adalah orang-orang yang menginginkan sesuatu dari gue, dan bukan orang-orang yang peduli.
Setidaknya, Ed Sheeran tidak perlu repot-repot berbasa-basi. Sementara kita disini — sudah dimintai tolong — awalnya perlu basa-basi pula.
Jujur, gue paling malas dengan yang namanya basa-basi. Gue sebenarnya masuk kategori bawel, tapi entah kenapa gue selalu kesulitan basa-basi. Rasanya awkward. Sayangnya, kemampuan basa-basi adalah kemampuan yang esensial yang harus dimiliki setiap orang — terutama orang Indonesia. Basa-basi menjadi suatu bentuk sopan santun, yang dimana kalau kita tidak memperpanjang pembicaraan, pasti langsung digunjingkan sebagai orang yang “nggak sopan”. Jadi mau tidak mau, gue pun harus belajar berbasa-basi sedikit.
Hal ini tidak jarang membuat gue gerah sendiri, terlebih karena ini juga terjadi di lingkungan kampus. Apalagi, sekarang semua kegiatan belajar mengajar dilaksanakan secara daring. Sejak sarana komunikasi dengan dosen beralih ke WhatsApp, kami semua jadi rajin sekali meminta maaf. Kalau mau bertanya, pasti ada embel-embel, “Maaf Mbak, izin bertanya…” atau “Maaf Mas, saya izin ke toilet sebentar.” Kadang gue suka bingung, emang salah apa sampai harus meminta maaf? Dosa kalau mau ke toilet? Tapi tetap saja hal tersebut dilakukan demi “sopan santun” tadi.
Sampai akhirnya, salah satu dosen gue yang memang terkenal agak santai bilang, “Kalau mau tanya, tanya aja ya. Nggak usah pakai minta maaf atau minta izin.” Rupanya, bukan cuma gue yang merasa jengah.
Tapi tetap saja, budaya basa-basi ini masih populer di kalangan orang Indonesia, terutama — bukannya menggeneralisir — kalangan tante-tante. Gue pernah berdebat sama Nyokap tentang hal ini. We have a very different definition on what constitutes as manners. Buat gue, manners adalah menyapa si tante, tersenyum, lalu cabut, sambil bilang, “Duluan ya, tante!”. Atau, kalau si tante berada di ujung gang dan melihat gue dari kejauhan, gue akan tersenyum, mengangguk dan melambaikan tangan. Tapi buat Nyokap gue, manners adalah menyapa si tante, walau jauh tetap disamperin, tersenyum, lalu ngobrol dulu — kalau sampe keasyikan bisa sampai berjam-jam, pergi ngopi, lalu baru bubar. Oke itu hiperbola. But you get the idea.
It’s amazing how this becomes something very important. Gue ingat dulu waktu gue masih SMP, gue pernah ditegur Nyokap, “Ce, tadi kamu ketemu Tante Ranti di mall ya?” tuduhnya.
Gue menjawab, “Hah? Enggak tuh!”
Raut wajah Nyokap berubah rileks. Lalu dia bilang, “Oh… Mungkin kamu nggak lihat kali.”
Merasa bingung, gue lanjut nanya, “Emang kenapa?”
Lalu Nyokap gue menjawab, “Oh nggak apa-apa… Soalnya tadi Tante Ranti bilang dia ketemu kamu, tapi kamu kok nggak nyapa. Lain kali kalau ketemu temen-temen mama, jangan lupa nyapa ya.”
“Gila banget!” batin gue, “Bisa-bisanya ngadu ke Nyokap.” Gue nggak mendebat lebih lanjut, tapi gue merasa sedikit kesal. Sumpah, gue benar-benar nggak lihat Tante Ranti. Salah satu penjelasan yang bisa gue berikan ke Nyokap adalah gue penderita rabun jauh — alias minus. Mungkin Tante Ranti berada di ujung gang, dimana gue pastinya nggak lihat. Nyokap pun paham dan nggak melanjutkan petuahnya, mungkin karena dia lihat anaknya bentar lagi bete dituduh-tuduh nggak sopan. Tapi balik lagi ke premis tadi, basa-basi menjadi suatu hal yang penting, yang dimana kalau kita nggak melakukannya, kita dianggap sombong dan nggak sopan.
Kegiatan basa-basi ini tetap wajib kita lakukan, dan kita tetap harus bertahan walau hal tersebut tidak menyenangkan. Niatnya mau mengajak ngobrol dan bersopan-santun, tapi tidak jarang hal tersebut datang sepaket dengan ejekan. “Wah, kamu gendutan ya! Jarang olahraga ya sekarang sibuk kuliah?” atau, “Yaampun! Kamu sekarang gosong banget! Kemarin waktu ospek dijemur ya?” Kalau sudah begitu, gue cuma bisa tersenyum kecut dan bilang, “Hehe, iya tante.” — padahal pengen kabur secepatnya supaya nggak ditanya hal-hal makin aneh — seperti apakah gue sudah punya pacar atau kapan nikah.
Namun, semakin besar, gue belajar berkompromi dengan budaya basa-basi ini. Seperti kata peribahasa, dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Mungkin, gue nggak akan pernah jago basa-basi. Tapi setidaknya, gue bisa belajar beradaptasi. Gue cuma bisa berharap, sama seperti gue yang berkompromi dengan budaya basa-basi ini, orang-orang juga dapat berkompromi dengan cara membuat kegiatan basa-basi sedikit lebih menyenangkan.
Dimulai dari hal kecil, seperti nggak body shaming.